Blog ini adalah blog pribadi yang diguakan untuk menampung ide-ide bisnis, pikiran positif dan media yang inspiratif
Sabtu, 11 Agustus 2018
EMPO WONTONG DAN EKO WOSA
EMPO WONTONG DAN
EKO WOSA
Oleh: Stefanus Satu, S.Pd
Cerita mengenai bagaimana Orang Lara sampai Empo Wontong dan bagaimana akibatnya kalau Empo Wontong itu dilanggar, sudah dimuat dalam tulisan sebelumnya ( Baca: Orang Lara Empo / Ireng Wontong). Kemanjuran Empo Wontong bagi seluruh warga Lara sangat tinggi. Artinya Empo Wontong ini kalau dilanggar maka akan mengakibatkan sakit Deres weki ( Tubuh terlihat kuning dan tidak sehat). Hal itu disampaikan Petra ( seorang warga Lara yang tinggal di Riang Cumbi ) sebagai orang yang mengalami langsung akibat makan daging atau telur Wontong. Petra bersaksi. “Saya percaya kalau reaksi dari makan wontong ini bisa mengakibatkan lasa deres atau mungkin hampir sama dgn penyakit kuning, karna saya sendiri pernah mengalaminya. Ini terjadi bukan karena tidak tahu kalau kita org Lara tidak boleh makn Wontong, tetapi karena rasa ingin tahu dan bukti, apa benar kalau kita makan Wontong atau telurnya maka akan terjadi sakit. Waktu SD mama pernah cerita kalau kita orang Lara tidak boleh makan Wontong yang disebut Empo wontong. Tetapi mama tidak menjelaskan kepada saya mengapa orang Lara Empo Wontong. Dalam pemahaman pribadi saya, sungguh tidak masuk akal, kita orag Lara manusia tapi punya Empo dari Wontong.
Burung Maleo ( Wontong )
Tidak masuk diakal menurut pribadi saya dan muncul rasa ingin tahu dan pembuktian. Waktu kelas 2 SMP saya tinggal di rumah bersama kakak perempuan saya di Sernaru.Kakak ipar saya (suami kakak perempuan ) punya hobi mencari telur Wontong, dan sering dapat. Suatu hari kakak ipar saya pergi ke hutan untuk mencari telur wontong. Senang bahwa ketika pulang dia berhasil membawa telur wontong. Tergoda dengan besarnya telur itu, saya pun makan telur itu setelah direbus. Setelah beberapa buln kemudian, tiba-tiba saya jatuh sakit. Awalnya hanya sakit panas biasa. Tetapi panasnya terus menerus. Kadang panasnya turun, tapi kemudian naik lagi. Panas disertai dengan diare. Setelah beberapa lama terjadi perubahan warna kulit saya. Dari warna biasa ke warna kuning. Mama bertanya kepada saya apakah saya pernah makan daging atau telur wontong. Saya pun menjawab, kalau saya pernah makan telur Wontong. Saya menjawab mama kalau saya pernah makan telur Wontong. Mama pun langsung menduga bahwa saya melanggar Empo Wontong. Mama pun bergerak cepat mencari orang tua yang dapat menyembuhkan sakit saya. Mama pergi ke Cumbi untuk bertemu dan memohon bantuan Kakek Empo Tia. Kakek bisa menyembuhkan orang sakit karena melanggar Empo Wontong. Berkat kepintaran Empo Tia, saya akhirnya sembuh”.
Pada
bagian ini saya focus pada apa yang dibuat seseorang warga Lara jika melanggar
Empo Wontong. Di atas Petra hanya menceritakan bahwa ketika dia terkena sakit
karena melanggar Empo Wontong, dia meminta bantuan kepada Kakek Empo Tia. Petra
tidak menjelaskan apa dan bagaimana yang dibuat oleh Kakek Empo Tia untuk
menyembuhkan sakit dari Petra serta apa
dan bagaimana pula yang dibuat Petra serta mendapat petunjuk atau arahan dari
Kakek Empo Tia.
Pada
hari Sabtu tanggal 18 Juni 2022 saya berkunjung ke rumah Bapak Paulus Habet di
Labuan Bajo. Dia adalah orang tua sekaligus sesepuh warga Lara baik yang ada di
Beo Lara maupun yang ada di Riang-riang Lara. Di sela begitu banyaknya cerita
mengenai Lara dan keluarga Lara, saya pun sempat bertanya kepada sesepuh ini
mengenai apa yang dibuat sebagai tindakan pengobatan atau mungkin pertolongan
pertama bagi sesoarang warga Lara yang sakit karena diketahui melanggar sumpah
Empo Wontong. “Menurut yang Kae tahu, dengar, atau mungkin pernah melihat dulu,
apa yang dibuat sebagai tindakan pengobatan atau pertolongan pertama untuk
menyembuhkan jika seseorang diketahui melanggar sumpah Empo Wontong” Bapak
Paulus Habet menjelaskan panjang lebar. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan
di atas. Dia menjelaskan bahwa leluhur kita dulu pintar dan hebat. Mereka
membuat Aturan Adab yaitu Empo Wontong. Aturan Adab Empo Wontong sebenarnya
mengingatkan kita agar berhati-hati dalam berkomunikasi, memberikan informasi
atau menerima informasi. Dalam berkomunikasi diharapkan untuk bisa mengatakan
yang sebenar-benarnya atau sejujur-jujurnya. Kesalahan kita dalam berkomunikasi
akan berakibat kurang baik bagi pihak yang memberikan informasi maupun untuk
yang menerima informasi. Jujur dalam mengatakan sesuatu. Sesuatu yang benar
jangan diputar balik yang pada akhirnya menjadi salah. Demikianpun sebaliknya yang
salah jangan diupayakan untuk bisa menjadi benar. Yang salah katakana salah dan
yang benar katakana benar.
Leluhur
kita tidak hanya meninggalkan aturan seperti Empo Wontong dan sanksinya untuk
kita sebagai pewarisnya, tetapi mereka juga memberikan kepada kita solusi
sebagai tindakan pengobatan yang dapat kita lakukan ketika mengalami sakit akibat melanggar Empo
Wontong. Disini leluhur kita menunjukkan kecerdasan dan kebijakannya. Mereka
tidak hanya membuat aturan adab dan sanksinya, tetapi juga solusi yang diambil
ketika mengalami sakit akibat melanggar aturan Empo Wontong. Solusi ini
menunjukkan bijak dan sayangnya leluhur kepada kita sebagai penerima warisan
cerdas dan bijak itu.
Lalu
Bapak Paulus menjelaskan apa dan bagaimana tindakan pengobatan jika terjadi
sakit karena melanggar Empo Wontong. Kemanjuran Empo Wontong untuk kita Orang
Lara itu ada dan terjadi serta tidak hanya sekedar cerita. Cerita pembuktian
adanya sanksi sakit karena melanggar Empo Wontong oleh Petra di Cumbi adalah satu dari sekian banyak
testimoni keberadaan aturan adab Empo Wontong untuk orang Lara.
“Tindakan
yang dapat kita lakukan dan dipercaya untuk dapat menyembuhkan setiap orang Lara
yang menderita sakit akibat makan Wontong dan telurnya adalah “Eko Wosa”. Dia yang sakit itu disuruh untuk menggendong
Wosa lalu duduk di anak tangga rumah ( tangga depan rumah ). Sementara duduk
dia membersihkan lidahbagian atasnya dengan menggunakan lidi dari gebang yang
dibuat lengkung, kemudian dimasukan ke dalam mulut dan membersihkan lidah mulai dari dalam pangkal
lidah sampai ke ujung lidah. Saat membersihkan lidah diupayakan agar
perasaannya mengarah kepada bau busuknya kotoran ayam ( Ta’I Manuk ). Tujuannya
adalah untuk mengumpan munculnya rasa
mual dan lebih baik lagi kalau sampai muntah. Setelah si sakit melaksanakan
cara seperti itu maka sejak saat itu dia akan mengalami penyembuhan secara
pelan-pelan.
Mengapa Eko Wosa Manuk
Mari
kita melihat bagaimana hubungannya antara Empo Wontong dengan Eko Wosa. “Eko
Wosa” adalah dua kata bahasa Manggarai versi Kempo. Eko adalah kata kerja
bahasa Manggarai yang berarti gendong atau menggendong. Eko artinya meletakkan
beban dipunggung dari dia yang menggendong dan diikat dengan tali atau benda
lain supaya kuat dan tidak jatuh saat berjalan. Wosa diartikan dengan suatu
wadah penampung yang terbuat dari anyaman daun gebang. Ada macam-macam jenis
wosa menurut versi orang Kempo, tergantung fungsinya untuk apa. Ada Wosa Manuk,
ada wosa Kaba dan ada wosa latung. Wosa Manuk artinya sangkar tempat ayam
bertelur atau tempat khusus anak ayam bersama induknya tidur di malam hari yang
sengaja ditangkap dan dimasukkan ke dalam Wosa karena anak ayam belum bisa
bertengger di pohon. Tujuannya adalah agar terluput dari predator ayam seperti
anjing, kucing, ular, burung malam atau bahkan bisa juga manusia. Wosa Kaba
artinya anyaman dari daun gebang yang sengaja dibuat untuk menyimpan
macam-macam barang yang kemudian diangkut menggunakan tenaga kerbau ( Kaba
).Sedangkan Wosa Latung artinya anyaman dari daun gebang yang dibuat khusus
untuk menyimpan jagung ( Latung) atau barang yang lain. Sedangkan jenis Wosa
yang digunakan untuk tindakan penyembuhan sakit karena Empo Wontong adalah Wosa
Manuk.
Lalu
pertanyaan lebih lanjut adalah mengapa Wosa Manuk yang diambil dan bukan Wosa
yang lain. Kembali pada tulisan terdahulu dengan judul “Orang Lara Empo / Ireng
Wontong”. Dalam tulisan itu dikatakan bahwa Sumpah itu disimbolkan dengan
sembeli burung yang disebut Wontong sebagai pegganti ayam, sekaligus dilarang
dan tidak boleh makan daging termasuk telur Wontong. Wontong sebagai pengganti
ayam. Seharusnya adalah ayam. Namun karena ada alasan yang cukup kuat untuk
dipertimbangkan secara ekonomi dan budaya maka ayam diganti dengan Wontong.
Memang kalau tidak ada burung lain yang bisa ditangkap saat itu, pasti ayam
jadi dipotong. Wosa manuk tempat ayam bertelur dan tempat induk dan anak ayam
yang masih kecil berlindung, dan mendapatkan kehangatan dan keamanan di malam
hari. Seharusnya kita berterima kasih kepada Wontong yang menyerahkan dirinya
untuk dipotong sebagai pengganti ayam. Tapi kita juga pusing, media apa yang
digunakan untuk menyatakan terima kasih kita kepada Wontong. Wontong itu liar.
Sulit juga kita untuk menemukan buluhnya yang gugur. Tempat Wontong bertelur
juga jauh. Karena adanya kesulitan- kesulitan seperti itu akhirnya disepakati
bahwa Wontong diasumsikan adalah ayam. Ayam tempat bertelur dan tidur induk
serta anak ayam di malam hari. Diambillah Wosa itu kemudian digendong bagai anak kecil yang sedang menangis minta gendong dan jalan di
tengah kampung. Gendong ( eko ) Wosa
merupakan bentuk terima kasih kepada Wontong yang sudah relah menyrahkan
dirinya untuk dipotong sebagai pegganti ayam. Dipercaya bahwa ketika si Sakit
sudah menggendong atau eko Wosa yang berarti menina bobokan Wontong, maka
kebencian dan kemarahan Wontong serentak hilang dan yang ada adalah sembuh dan
sehat dari sakit ( ranggak lasa, wear pempang, mora kolang, ita di,a agu mai
cias).
Penulis
adalah warga Lara yang tinggal di Riang Labuan Bajo